SUARAANAKKOLONG.CO.ID KAPUAS HULU, 04 Februari 2025 – Harga kratom di tingkat petani di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mengalami penurunan drastis akibat belum dikeluarkannya Persetujuan Ekspor (PE) oleh Menteri Perdagangan. Akibatnya, sebanyak 18.392 petani yang tersebar di 23 kecamatan harus menanggung dampaknya.
Wakil Ketua DPRD Kapuas Hulu, Abdul Hamid, mengungkapkan bahwa harga kratom yang sebelumnya berada di kisaran Rp 25-27 ribu per kilogram kini merosot menjadi Rp 14-17 ribu per kilogram. Hal ini terjadi karena ribuan kontainer kratom asal Kalimantan Barat tertahan di gudang dan pelabuhan di Jakarta, Surabaya, dan Pontianak, sehingga eksportir tidak bisa mengirimnya ke negara tujuan seperti Amerika Serikat.
“Sudah hampir lima bulan kratom asal Kalbar tidak bisa diekspor. Hal ini menyebabkan daya beli pembeli menurun, karena mereka tidak berani membeli kembali dari para petani di Kapuas Hulu,” ujar Abdul Hamid dalam pertemuan di Gedung DPRD Kalbar, Selasa (4/2).
Dalam rapat konsultasi tersebut, DPRD Kapuas Hulu meminta agar pemerintah segera mengeluarkan PE untuk memperlancar ekspor. Selain itu, mereka juga mengusulkan agar harga minimal dan maksimal kratom diatur melalui Peraturan Bupati (Perbup) atau Peraturan Gubernur (Pergub), seperti yang diterapkan pada komoditas lain seperti sawit.
Ketua Komisi II DPRD Kalbar, Fransiskus Ason, turut menyoroti kebijakan kuota ekspor kratom sebesar 25% yang diberikan pemerintah. Namun, ia mempertanyakan bagaimana perhitungan kuota tersebut dan dari mana asal produksinya.
“Kuota ini katanya untuk menstabilkan harga kratom di pasar luar negeri agar petani dan pengusaha tidak dirugikan. Tapi, pembatasan ekspor ini juga bisa mempengaruhi keseimbangan supply dan demand,” ujar Ason.
Ia mengingatkan agar kebijakan ini tidak membuka celah bagi praktik monopoli atau keberadaan “mafia kratom” yang bisa merugikan petani kecil. Ia juga menegaskan bahwa tanaman kratom, sebagai komoditas unggulan Kalimantan Barat, harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, baik dalam regulasi maupun kebijakan ekspornya.
“Jangan sampai kisah pahit jeruk Sambas yang kini tinggal sejarah terulang kembali di kratom,” katanya.
Menurutnya, pemerintah Thailand dan Vietnam yang dahulu belajar bertani ke Indonesia kini justru lebih maju karena dukungan regulasi dan modernisasi pertanian. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah pusat untuk lebih berpihak kepada petani kratom dengan memperlonggar aturan ekspor agar ekonomi petani tetap berjalan dan pendapatan daerah meningkat.
“Petani dan pengusaha kratom di Kalbar sudah terlalu lama menunggu kepastian. Kami berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret agar masalah ini tidak berlarut-larut,” pungkasnya.
Redaksi: Mi’raj Firdaus,
Edit. Amarizar.MD








